PECINTA ALAM DI INSONESIA
Tahun 2001 ini, genap sudah organisasi
pencinta alam di Indonesia berumur 41 tahun. Sejak kehadirannya pada
dekade 60-an, organisasi pencinta alam di Indonesia makin meningkat
dengan pesat. Baik itu perorangan maupun kelompok. Peminatnya terus
bertambah, tidak hanya dari kota-kota besar tapi sudah tersebar
keseluruh nusantara. Menurut catatan PIPA (Pusat Informasi Pencinta
Alam, suatu wadah yang pernah didirikan oleh LIPI – Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia) ada sekitar 1500 perhimpunan pencinta alam di
Indonesia. Itu pada tahun 1995, entah sekarang, yang jelas data
statistik itu pasti membengkak lagi.
Namun seiring dengan bertambahnya bentuk
kegiatan, prestasi serta prestise meningkat, ternyata banyak sekali
perhimpunan pencinta alam yang ada sekarang tidak mengetahui sejarah
asal-usul pencinta alam itu sendiri. Kalau seseorang tidak mengetahui
apa yang ia cintai, apakah mungkin akan tumbuh rasa cinta pada sesuatu
tersebut? Hal ini mengakibatkan banyaknya perhimpunan pencinta alam yang
hanya sekedar mengusung simbol-simbol serta kebanggaan dengan memasang
berbagai atribut atau aksesoris agar nampak seperti pencinta alam,
tetapi perilakunya tidak mencerminkan hal itu.
Padahal di awal kehadirannya, organisasi
yang “lahir” di atas kemelut politik ini telah memiliki visi dan misi
yang jelas, yang paling sederhana adalah dalam pembentukan character
building. Di salah satu artikelnya yang berjudul Menaklukkan Gunung
Slamet yang terangkum dalam buku Zaman Peralihan. Soe Hok Gie (Alm.)
menulis seperti ini, “….Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara
sehat kalau ia mengenal akan objeknya, dan mencintai tanah air Indonesia
dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari
dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula
pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung. Melihat
alam dan rakyat dari dekat secara wajar di samping itu untuk menimbulkan
daya tahan fisik yang tinggi. “Libur ini kami ingin mendaki gunung yang
berat.” Kami terangkan kepada mereka.
Berdasarkan tulisan di atas, almarhum
memahami benar bahwa orang yang bergerak dalam kegiatan outdoor seperti
ini umumnya memiliki kemampuan fisik, sikap serta intele-gensia yang
baik. Dan itu jelas merupakan modal yang bagus untuk pembangunan. Namun
yang terjadi sekarang justru kebalikannya. Banyak yang mengklaim dirinya
pencinta alam tetapi dalam kegiatan sebenarnya justru malah merusak
alam. Apakah ini bukan salah kaprah namanya ?
Asal-usul Pencinta Alam
Kelahiran pencinta alam di Indonesia
memang tidak diketahui secara pasti tanggal dan bulannya. Namun yang
jelas, cikal bakal kegiatan ini mulai hadir sekitar tahun 60-an. Konon,
istilah pencinta alam itu sendiri pertama kali dikenalkan oleh (Alm) Soe
Hok Gie, salah satu pendiri Mapala UI. Namun penulis sendiri yakin,
bahwa almarhum tidak akan pernah menyangka bila istilah yang
diperkenalkannya itu kelak akan masuk dalam kosa kata Bahasa Indonesia,
karena awal kehadirannya pun “Cuma” sebuah rangkaian kecil dari sejarah
politik Indonesia pada saat itu. Ketika Presiden Soekarno semakin
terpengaruh oleh Partai Komunis Indonesia, atmosfir politik di Indonesia
otomatis terpecah menjadi dua. Satu pihak yang berada di belakang
Soekarno menyebut dirinya sebagai kelompok revolusioner, sementara pihak
yang tidak sejalan dengan garis kebijaksanaan Soekarno dianggap
kelompok kontra-revolusioner atau kelompok reaksioner. Ternyata, kondisi
seperti itu merambah pula dalam dunia kampus. Mahasiswa ikut-ikutan
terpecah menjadi dua, yaitu kelompok mahasiswa revolusioner dan
kontra-revolusioner.
Di antara kelompok mahasiswa yang saling
berseberangan itu, ada juga kelompok mahasiswa yang bersikap netral
meskipun lokal sifatnya. Di Jakarta, ada kelompok mahasiswa yang
menamakan dirinya Ikatan Mahasiswa Djakarta (IMADA) serta Gerakan
Mahasiswa Djakarta (GMD). Di Bandung sendiri organisasi mahasiwa yang
bersikap netral adalah Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PM dan Corps Studiosorum Bandungense (CBS).
Pertentangan antara dua kelompok
mahasiswa itu kian hari kian menguat frekuensinya. Masing-masing
berusaha untuk saling mempengaruhi dan saling menjegal satu sama lain.
Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, kemelut politik yang sebenarnya
akar permasalahannya justru berada di luar kampus itu mulai “menyerang”
ke dalam fakultas, tak terkecuali Fakultas Sastra Universitas Indonesia
(FSUI) harus terkena pula imbasnya. Sampai-sampai dalam pemilihan ketua
senat pun, para kandidat yang muncul adalah mahasiswa-mahasiswa yang
membawa bendera-bendera organisasi tertentu. Namun ternyata, tekanan
dari kelompok revolusioner kian lama kian menguat, dan kelompok yang
netral justru malah semakin terjepit diantara kekuatan-kekuatan
tersebut.
Dalam kondisi terjepit seperti itu,
kelompok netral yang berada di FSUI mencoba untuk “menggeliat” dengan
melakukan serangkaian kegiatan-kegiatan. Baik itu di lingkungan kampus
maupun di luar. Kelompok yang semakin hari semakin banyak peminatnya itu
mulai “melawan” dengan caranya sendiri. Seperti; menyelenggarakan
diskusi, memutar film dan kegiatan lainnya. Sementara untuk kegiatan
luarnya, mereka selalu memiliki agenda untuk menyelenggarakan perjalanan
bersama ke gunung-gunung maupun ke dusun-dusun sepi. Rasa senasib
sepenanggungan dalam perjalanan, terkucil dari “keramaian” politik serta
rasa terpencil itulah yang membuat mereka bersama-sama untuk “berkeluh
kesah” pada Sang Pencipta. Mereka adalah kelompok mahasiswa yang tidak
rela almamaternya (FSUI) dijadikan ajang pertarungan politik guna
kepentingan luar. Kemudian kelompok ini menamakan diri sebagai pencinta
almamater. Selain dimotori oleh (Alm) Soe Hok Gie, juga ada Herman O.
Lantang, Asminur Sofyan Udin, Edi Wuryantoro serta Maulana.
Dalam skala kecil, hikmah yang bisa
diambil oleh mereka adalah mendapatkan kawan yang senasib-sepenanggungan
sementara untuk lingkup yang luasnya, yaitu bahwa ternyata untuk
mencintai dan membangun negara tercinta tidak selalu harus dengan cara
berpolitik. Masih ada cara lain selain saling “sikut-menyikut” guna
kepentingan penguasa, mendaki gunung, misalnya.
Atas dasar pengalaman serta penderitaan
itulah yang kelak kemudian menjadi cikal-bakal organisasi yang untuk
pertama kalinya menggunakan istilah pencinta alam, yaitu Mahasiswa
Pencinta Alam (Mapala) Prajnaparamita FSUI. Prajnaparamita, sendiri
adalah lambang jati diri dari FSUI yang berarti dewi kesenian dan ilmu
pengetahuan dalam mitologi India, karena memang pada saat itu Mapala
hanya milik FSUI. Baru pada tahun 1971, ketika Mapala resmi menjadi
bagian dari Unit Kegiatan Mahasiswa di UI, maka para pendirinya dengan
tulus melepaskan hak atas nama Prajnaparamita itu.
Pada perkembangan selanjutnya, ketika
organisasi seperti itu mulai menjamur, para “elite” pencinta alam di
tanah air mulai merasakan bahwa sudah tiba waktunya dibentuk suatu kode
etik bagi pencinta alam. Setelah beberapa tahun dirumuskan, baru pada
Gladian ke-IV lah kode etik bagi pencinta alam dikumandangkan di
Ujungpandang.
Antara Lalu dan Kini : Hakekat Yang Telah Tergeser
Berdasarkan kisah di atas, jelaslah
kiranya bahwa fenomena kelahiran pencinta alam di Indonesia pada mulanya
hanya didasari oleh sikap “perlawanan” dan hasil “kontemplasi” dari
sekelompok mahasiswa FSUI terhadap establishment (kemapanan) atau bisa
jadi juga aktualisasi dari sikap escapisme (pelarian) dikarenakan rasa
tidak berdaya, aliensi dan anomi. Dalam lingkup kegiatannya, idealisme
memang diwujudkan di sini. Sampai sekarang pun, idealisme itu masih
tetap terpelihara dengan tidak berdirinya organisasi pencinta alam baik
itu yang berada di SMU, universitas maupun yang berdiri sendiri pada
satu kekuatan atau warna politik tertentu. Karena sampai saat ini, belum
pernah kita dengar ada organisasi pencinta alam yang demo kepada
pemerintah menuntut “jatah” kursi di DPR.
Namun setelah empat puluh tahun berlalu,
idealisme dari makna serta hakekat pencinta alam itu sendiri semakin
luntur. Kode etik yang diikrarkan pada tahun 1974 kini hanya menjadi
slogan belaka atau sekedar lips service saja, karena itu baru akan
dikumandangkan pada saat kode etik itu memang perlu dibacakan. Misal;
tiap diselenggarakannya Diklatsar. Tapi ironisnya, hal itu tidak masuk
pada perilaku kehidupannya sehari-hari.
Kalau sudah begini, maka urusan
pelestarian alam yang jelas-jelas tertuang pada kode etik tersebut hanya
menjadi omong kosong belaka. “Penyakit” seperti itu kian waktu semakin
merasuk di kalangan para pencinta alam. Akibatnya adalah semakin
banyaknya para pencinta alam yang tidak menyadari keberadaan dirinya.
Padahal seharusnya mereka memiliki point yang lebih daripada orang-orang
yang tidak pernah/belum memasuki organisasi pencinta alam, khususnya
soal kesadaran dan kepedulian lingkungan hidup. Bukankan inti dari kode
etik itu adalah soal kesadaran akan alam dan upaya manusia untuk
mencintai alam? Yang berarti pula mencoba untuk mencintai Sang Pencipta
lewat kegiatannya tersebut.
Sebagai bagian dari suatu masyarakat
yang lebih besar, sudah saatnya kalangan pencinta alam tidak menutup
diri dari perkembangan yang terjadi di luar dirinya. Dari tahun ke
tahun, organisasi semacam ini dituntut untuk terus berpartisipasi aktif
guna mengisi pembangunan di tanah air. Karena memasuki abad 21 ini,
pilihan yang berada di depan hidung para pencinta lam sudah semakin
banyak dan kompleks sementara makna serta hakekat dari pencinta alam itu
sendiri sebagai pelestari alam telah semakin kabur jauh, entah kemana.
Sepertinya, sudah tiba saatnya
organisasi para pencinta alam “bersatu” kembali guna mengembangkan ide
serta bentuk kegiatan yang bermanfaat dalam bentuk yang konkrit. Hal ini
bukan saja buat dirinya tetapi juga buat masyarakat, tempat dimana
golongan ini hidup dan berkembang . Terutama sekali buat “Ibunda” kita
sendiri, yaitu alam terbuka, tempat dimana kita bermain dan berkegiatan.
0 komentar:
Posting Komentar